Aimer c'est moi, la sincérité est ma voix, ma pensée est sexy, loyauté est mon

Followers

LOST IN DEVIL'S LOV3 (1)

Aku melihat sekeliling ruangan kamarku, ini mungkin akan menjadi terakhir kalinya aku tidur dikamar ini. Tumpukan buku-buku, boneka-boneka dan beberapa barang lainnya. I’m gonna miss this… Kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya kedua orangtuaku membuat banyak hal berubah. Salah satunya, mau tidak mau aku harus menyetujui untuk pindah kerumah nenekku. Sebenarnya aku bisa saja memilih untuk tinggal bersama tante Hilda, adik dari mama. Tapi, aku merasa saat ini aku lebih membutuhkan ketenangan. Dan itu hanya bisa aku dapatkan di Lake Valley, sebuah kota kecil dipegunungan. Pagi-pagi sekali kakek pasti sudah mengajakku pergi, tapi sudah hampir tengah malam mataku tidak bisa terpejam. Hhhhmmm…Lake Valley…. Namanya saja aku baru mendengar, tidak terbayangkan sedikitpun bagaimana kehidupan disana. Hubungan antara kedua orang tuaku dengan kakek dan nenek memang kurang baik. Pernikahan mereka tidak disetujui. Tapi setelah kecelakaan itu terjadi, kehadiran dan kondisi ku rupanya menyadarkan kebekuan hati kakek dan nenek dari papa. Aku hanya berharap, aku mendapatkan ketenangan di Lake Valley, karena menurut tante Hilda disana sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Dan menurut tante Hilda juga, aku pasti akan mati bosan disana. Hembusan angin menyentuh pipi kiriku, hal itu membuatku menoleh kekiri. Jendela tertutup?! Kedua mataku mulai lelah, perlahan-lahan mulai menutup. Sekilas bayang-bayang samar kulihat. Hitam !

























LAKE VALLEY HERE I COME !
            Aku memandang tas-tas yang akan dibawa telah tersusun rapi, untuk kesekian kalinya aku pandangi setiap sudut kamar, namun kali ini aku melihat ada satu yang terlewat, tiba-tiba mata ku menangkap kotak kecil diatas meja belajar. aku yakin sepenuhnya, kalau tadi malam kotak itu tidak ada, Apa tante Hilda?
            “Kalo kamu merasa berat ninggalin ini semua, kamu bisa tetap tinggal disini” suara tante Hilda mengagetkannya.
            “Kotak apa ini tante?” Tanyaku seraya menunjukkannya.
Tante Hilda mengkerutkan keningnya, dia sendiri tampak terkejut melihatnya.
            “Kamu dapat dari mana?”
            “Ada di meja belajar aku, aku pikir tante yang taruh disini?”.
Tante Hilda menggeleng seraya memandang ku dengan tatapan bingung.
Perlahan aku membuka kotak tersebut.
            “Kalo di liat dari ukirannya sepertinya ini benda kuno....coba liat itu ada simbol DS” ucap tante Hilda yang kemudian mendekatiku.
Begitu kotak tersebut ku buka, baik tante Hilda dan aku cukup tercengang melihat isinya.
            “Kalung?!” aku dan tante Hilda berpandangan.
Sebuah kalung dengan liontin ruby yang begitu indah sekarang ada di tangan ku. Kami kembali saling berpandangan begitu melihat ada surat kecil dibawahnya. Agak ragu aku membuka surat itu.

My Dear Daughter,
Ketika surat ini sampai ditangan mu, artinya kamu telah cukup umur untuk memiliki benda yang ada didalamnya. Perjalanan hidupmu akan dimulai dari sini, kamu akan menemui hal-hal di luar batas akalmu. Jangan takut....karena kemanapun kamu pergi, me and your father always be with you. This is a family necklace, sudah saatnya ini menjadi milikmu....pakailah...

Love,
Anna Marie de Savoia

Sekali lagi aku kembali memperhatikan simbol pada kotak tersebut. DS....De Savoia?! Sepertinya apa yang ada di pikiran ku juga terlintas di pikiran tante Hilda.
            “Ini salah kirim kali ya tante?” tanya ku polos.
Tante Hilda menatapku bingung, setidaknya itulah yang aku tangkap.
            “Tapi kenapa ada di kamar ku? Kan aneh?! Aku taruh sini aja yah Tante, siapa tau nanti ada yang nyariin”.
            “Jangan!” sergah tante Hilda buru-buru, “lebih baik kamu bawa, siapa tau itu hadiah...who knows”.
Alis ku mengrenyit, jelas sangat janggal sekali penjelasan tante Hilda.
            “Tante kan juga baca suratnya. Itu jelas-jelas bukan untuk aku! Nama mommie kan Nathalie bukan Anna Marie”.
            “Hehehe iya siapa tau itu kado nyasar dari surga, coba kamu pikir masa iya langsung ada dikamar kamu?” tante Hilda tersenyum konyol.
Sekali lagi aku memandang kalung dan kotak tersebut. Aku tidak bodoh untuk mempercayai penjelasan tante Hilda yang semakin tidak masuk akal. Namun satu hal yang pasti semakin aku menatap liontin ruby yang berwarna merah itu, semakin aku tertarik kedalamnya.
            “Baiklah, aku bawa. Tapi ga akan aku pake. Ini karena aku males debat sama tante hehehe dan ga mau bikin kakek terlalu lama menunggu dibawah”
Tante Hilda tersenyum sambil memelukku dengan begitu erat.
            “Kembalilah kesini kalau kamu merasa tidak betah disana” bisik tante Hilda.
            “Siap” aku tersenyum lebar, berharap senyumku bisa meredakan kekhawatiran tante Hilda.
Yah, tante Hilda pastilah sangat khawatir pada ku, karena sepanjang sepengetahuannya aku tidak pernah lepas dari kedua orang tua ku. Dan kini aku sendiri pergi ke tempat yang sama sekali asing.
            “Arrrgghh I hate this” aku mengusap air mata yang menetes di pipi tante Hilda.
            “Take care honey” ucap tante Hilda.
            “I will. And you too, take care”.
Aku kemudian memasukkan kalung itu kedalam kotaknya. Kemudian aku selipkan di dalam ranselku.
Kami menuruni tangga dan menemui kakek yang tampak sudah tidak sabar menunggu ku di ruang tamu.
            “Owh...let me help you” seru kakek begitu melihat ku dan tante Hilda menjinjing beberapa koper.
            “Please, take care of her” ucap tante Hilda.
            “Jangan khawatir Hilda, kami akan menjaganya dengan baik”.
            “Ayolah tante....stop worrying me!” ucap ku yang gemas melihat tante Hilda yang mengulang kata-kata yang sama pada kakek.
Tante Hilda tersenyum sambil mengusap punggung ku, sementara kakek sibuk memasukkan koper-koper ku ke dalam mobil vans nya. Sebenarnya hanya dua koper besar dan satu ransel yang ku bawa sendiri.
            “Aku sudah menyiapkan bekal makanan untuk diperjalanan” tante Hilda setengah berlari ke dapur, “hanya sandwich, untuk ganjal perut”.
            “Kau sangat baik hati Hilda, terima kasih untuk jamuan mu” ucap kakek, baiklah lebih baik kita pergi sekarang, aku tidak mau kemalaman di jalan”.
Aku dan tante Hilda kembali saling berpandangan. Lagi-lagi tante Hilda memelukku dengan erat, seperti hendak melepasku ke medan perang saja. Aku berjalan menuju mobil, kakek yang lebih dulu telah berada di belakang kemudi tampak sabar menunggu ku yang untuk terakhir kalinya memandangi rumah yang sekian lama telah kutempati bersama orang tua ku.
Aku tersenyum pada tante Hilda, seraya mengumpulkan kembali keyakinanku yang memudar setiap kali melihat tante Hilda dan rumah ini. Ok here I go....aku membalikkan  badan dan berjalan penuh keyakinan menyusul kakek. Seraya mobil berjalan aku kembali lagi melambaikan tanganku pada tante Hilda.
Perjalanan kami pun di mulai dengan kebekuan, sepertinya kami masing-masing berpikir keras akan membahas apa.
“Kakek mungkin ragu kalau Lake Valley akan membuatmu betah, tapi jika kamu suka akan keindahan alam, Lake Valleylah tempatnya” ucap kakek berusaha mencairkan kebekuan diantara kami.
Aku hanya tersenyum mendengar celotehan kakek yang berusaha mencairkan kebekuan suasana.
            Nice try grand pa!
Tante Hilda sempat terheran-heran akan keputusanku yang lebih memilih menetap di Lake Valley dibandingkan di Covet City, tempat tinggal ku dulu. Apalagi aku sama sekali belum mengenal kakek nenekku. Jadi saat ini aku bisa dibilang sedang bertaruh untuk kehidupanku sendiri.
            “Kakek hanya berharap banyak hal belum terlambat. Kakek dan nenek senang sekali kamu memutuskan untuk tinggal bersama kami”.
            “Naia juga seneng kok. Mungkin nanti malah Naia yang akan merepotkan kakek sama nenek”.
            “Percaya sama kakek, nenek kamu pasti malah seneng dibikin repot”
Aku kembali tersenyum, kupandangi wajah tua kakek yang sekilas ada kemiripan dengan papa. Kematian kedua orangtuaku memang membuat ku hancur, hancur berkeping-keping. Perjalanan ke Lake Valley cukup jauh, untungnya aku telah mempersiapkan banyak hal untuk mengusir kebosanan. Salah satunya MP3 player kesayanganku, pemberian papa.
We’re live in beautiful world…..
Aku sempat terhanyut dengan lyric-lyric lagu musisi asal Inggris, Coldplay. Angin kembali berhembus mengenai pipi kiriku, membuat ku menoleh kearah kiri. Tampak hutan pinus begitu indah diantara jurang terjal.
            “Kakek pikir kamu tidur?”
            “Udaranya seger yah Kek?” ucapku segera agar kakek tidak beranggapan aku sedang memikirkan kedua orangtuaku.
Kakek tersenyum, seakan tahu apa yang ada dalam benakku.
            “Begitulah, itu salah satu yang dicari oleh para makhluk malam Naia”
            “Makhluk malam?”
            “Itu cuma dongeng menjelang tidur di Lake Valley”.
Kupandangi wajah kakek mencoba sedikit berkhayal, seandainya dari dulu aku mengenal kakek nenekku.
            “Kakek dengar kamu suka cerita-cerita mistik?” tanya kakek kemudian.
            “Owh…um…ya…aku suka film-film yang bikin tegang”.
            “Lake Valley banyak menyimpan cerita Naia, kamu pasti tertarik”.
            “O ya? Kedengarannya menyenangkan”.
Sekilas aku melihat kilatan-kilatan hitam yang bergerak begitu cepat diantara hutan pinus. Namun rasa lelah yang menderaku, tak bisa membuatku membayangkan hal-hal lain, bahkan kini suara kakek terasa semakin sayup terdengar.
            When faced with my demon…
            I clothe them and I feed them…
            And I smile yes I smile as their taking me over
Begitu sepi, bahkan aku merasa mobil kakek tidak berjalan. Begitu kubuka mataku aku melihat kakek berdiri sambil melihat pohon besar yang melintang ditengah jalan. Dari arah yang berlawan Mercedes benz keluaran terbaru pun berhenti. Ternyata ada juga mobil mewah di tempat antah berantah seperti ini. Yang lebih mengagetkan lagi begitu si pengendaranya keluar. Pria berbadan tinggi dan tegap, sorot mata setajam elang dan kulit seputih salju berjalan kearah kakek. Yang menarik perhatian ku adalah rambutnya yang berkilau putih keemasan.
            “Sepertinya hujan tadi malam sangat besar”
            “Apa belum ada yang melapor kepolisi?”.
            “Mungkin belum ada penduduk Lake Valley yang keluar kota, sepertinya hanya aku dan  kakek Hidalgo yang suka berpergian”.
Pria itu tiba-tiba menatap kearahku, anehnya jantungku seperti berhenti berdetak begitu mata kami saling memandang. Aku bahkan bisa merasakan darah yang mengalir ditubuhku.
            “Itu cucu ku, dia akan tinggal bersamaku”.
            “Aku tidak tahu kakek Hidalgo punya family diluar kota” ucap pria tersebut seraya merogoh saku celananya.
Melihat aku terbangun kakek segera menghampiriku.
            “Perjalanan kita sepertinya harus tertahan beberapa menit Naia, kamu lapar? Kalau tidak salah tadi Hilda membekali sandwich untukmu”.
            “Apakah akan lama kek?”.
            “Sampai petugas datang dan membereskan pohon itu. Naia…kamu diam dimobil jangan keluar ok?!” ucap kakek dengan mimik serius.
Aku mengangguk walaupun tidak mengerti mengapa kakek harus begitu seserius itu. Apa karena pria itu?
            “Aku sudah menelpon polisi, mereka akan datang dengan mobil derek. Tapi kemungkinan agak sedikit telat, jika memang kakek Hidalgo diburu waktu kita bisa bertukar mobil”.
            “Lebih baik aku tunggu saja, aku tidak diburu waktu. Mungkin kau yang terburu-buru”.
Senyum tipis menghias wajah sedingin es itu, gerak-geriknya begitu memikat. Aku tidak bisa melepaskan pandangannya dari pria itu.
            “Aku juga tidak diburu waktu, bahkan mungkin aku tidak jadi keluar kota. Um…. Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal?”
            “Kami baik-baik saja. Terima kasih perhatiannya Aero”.
Lagi-lagi pria yang dipanggil Aero oleh kakek tersenyum tipis, kali ini matanya kembali menatapku dan itu membuatku tidak bisa berkutik untuk beberapa saat.
Kakek kembali menghampiriku begitu mobil Aero kembali berputar arah.
            “Sebentar lagi polisi datang, kamu tidak keberatan menunggu kan?”
Naia menggeleng sambil melepas headseat MP3 playernya.
            “Siapa dia itu Kek?”
            “Namanya Aero, dia seorang Grimaldi, pengusaha kaya. Sebaiknya kita tidak usah terlalu dekat dengan mereka Naia”.
            “Kenapa? Kelihatannya cukup baik”.
            “Mereka sendiri yang selalu memisahkan diri dari lingkungan sekitar. Sudahlah, nanti juga kamu akan paham mengapa masyarakat tidak begitu menyukai keluarga Grimaldi”.
Aku tidak berani bertanya lagi pada kakek mengenai keluarga itu, walaupun semakin membuatku penasaran. Seumur hidupku belum pernah mengalami reaksi yang tidak bisa dimengerti begitu menatap orang.
Tak berapa lama polisi datang dengan mobil Derek. Sepertinya kakek cukup dikenal di Lake Valley, melihat polisi itu begitu akrab menyapa kakek. Kurang lebih setengah jam Naia dan kakek menunggu, akhirnya pengangkutan pohon besar itu selesai juga. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan polisi, kakek kemudian pamit untuk meneruskan perjalanan pulang.
            Akhirnya…..
Begitu kakek kembali menstater mobil, seperti ada sesuatu yang memaksaku untuk melihat ke kiri kaca mobil. Hutan pinus yang begitu lebat menarik diriku untuk berlama-lama menatapnya.
            Mata itu….Oh Tuhan…
Aku segera memalingkan wajahn dengan begitu tegang.
            “Ada apa Naia?” tanya Kakek.
            “Aku…aku…aku…lihat seseorang….” aku ketakutan.
            “Mungkin kamu hanya lelah, sudahlah lebih baik kamu tidurkan karena perjalanan kita belum bisa dibilang dekat”.
Lebih baik aku menuruti saran kakek, walaupun dalam benakku tidak bisa berhenti berpikir apa yang barusan dilihat tadi. Tapi logika ku memaksa untuk menyetujui pendapat kakek, mungkin aku memang kelelahan. Aku kembali memejamkan mata, lagi-lagi angin berhembus mengenai pipi kiriku.


videokeman mp3
Don’t Panic – Coldplay Song Lyrics

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
Loving is me, sincerity is my voice,sexy is my thought, loyality is my heart....

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital