Aku melihat sekeliling ruangan kamarku, ini mungkin akan menjadi terakhir kalinya aku tidur dikamar ini. Tumpukan buku-buku, boneka-boneka dan beberapa barang lainnya. I’m gonna miss this… Kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya kedua orangtuaku membuat banyak hal berubah. Salah satunya, mau tidak mau aku harus menyetujui untuk pindah kerumah nenekku. Sebenarnya aku bisa saja memilih untuk tinggal bersama tante Hilda, adik dari mama. Tapi, aku merasa saat ini aku lebih membutuhkan ketenangan. Dan itu hanya bisa aku dapatkan di Lake Valley, sebuah kota kecil dipegunungan. Pagi-pagi sekali kakek pasti sudah mengajakku pergi, tapi sudah hampir tengah malam mataku tidak bisa terpejam.
Hhhhmmm…Lake Valley….
Namanya saja aku baru mendengar, tidak terbayangkan sedikitpun bagaimana kehidupan disana. Hubungan antara kedua orang tuaku dengan kakek dan nenek memang kurang baik. Pernikahan mereka tidak disetujui. Tapi setelah kecelakaan itu terjadi, kehadiran dan kondisi ku rupanya menyadarkan kebekuan hati kakek dan nenek dari papa. Aku hanya berharap, aku mendapatkan ketenangan di Lake Valley, karena menurut tante Hilda disana sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Dan menurut tante Hilda juga, aku pasti akan mati bosan disana. Hembusan angin menyentuh pipi kiriku, hal itu membuatku menoleh kekiri.
Jendela tertutup?!
Kedua mataku mulai lelah, perlahan-lahan mulai menutup. Sekilas bayang-bayang samar kulihat. Hitam !
LAKE VALLEY HERE I
COME !
Aku
memandang tas-tas yang akan dibawa telah tersusun rapi, untuk kesekian kalinya aku
pandangi setiap sudut kamar, namun kali ini aku melihat ada satu yang terlewat,
tiba-tiba mata ku menangkap kotak kecil diatas meja belajar. aku yakin
sepenuhnya, kalau tadi malam kotak itu tidak ada, Apa tante Hilda?
“Kalo
kamu merasa berat ninggalin ini semua, kamu bisa tetap tinggal disini” suara
tante Hilda mengagetkannya.
“Kotak
apa ini tante?” Tanyaku seraya menunjukkannya.
Tante Hilda mengkerutkan keningnya, dia sendiri tampak
terkejut melihatnya.
“Kamu
dapat dari mana?”
“Ada
di meja belajar aku, aku pikir tante yang taruh disini?”.
Tante Hilda menggeleng seraya memandang ku dengan
tatapan bingung.
Perlahan aku membuka kotak tersebut.
“Kalo
di liat dari ukirannya sepertinya ini benda kuno....coba liat itu ada simbol DS” ucap tante Hilda yang kemudian mendekatiku.
Begitu kotak tersebut ku buka, baik tante Hilda dan
aku cukup tercengang melihat isinya.
“Kalung?!”
aku dan tante Hilda berpandangan.
Sebuah
kalung dengan liontin ruby yang begitu indah sekarang ada di tangan ku. Kami
kembali saling berpandangan begitu melihat ada surat kecil dibawahnya. Agak
ragu aku membuka surat itu.
My Dear Daughter,
Ketika surat ini sampai
ditangan mu, artinya kamu telah cukup umur untuk memiliki benda yang ada
didalamnya. Perjalanan hidupmu akan dimulai dari sini, kamu akan menemui
hal-hal di luar batas akalmu. Jangan takut....karena kemanapun kamu pergi, me
and your father always be with you. This is a family necklace, sudah saatnya
ini menjadi milikmu....pakailah...
Love,
Anna Marie de Savoia
Sekali lagi aku
kembali memperhatikan simbol pada kotak tersebut. DS....De Savoia?! Sepertinya apa yang ada di pikiran ku juga
terlintas di pikiran tante Hilda.
“Ini salah kirim kali ya tante?”
tanya ku polos.
Tante Hilda
menatapku bingung, setidaknya itulah yang aku tangkap.
“Tapi kenapa ada di kamar ku? Kan
aneh?! Aku taruh sini aja yah Tante, siapa tau nanti ada yang nyariin”.
“Jangan!” sergah tante Hilda
buru-buru, “lebih baik kamu bawa, siapa tau itu hadiah...who knows”.
Alis ku
mengrenyit, jelas sangat janggal sekali penjelasan tante Hilda.
“Tante kan juga baca suratnya. Itu
jelas-jelas bukan untuk aku! Nama mommie kan Nathalie bukan Anna Marie”.
“Hehehe iya siapa tau itu kado
nyasar dari surga, coba kamu pikir masa iya langsung ada dikamar kamu?” tante
Hilda tersenyum konyol.
Sekali lagi aku
memandang kalung dan kotak tersebut. Aku tidak bodoh untuk mempercayai
penjelasan tante Hilda yang semakin tidak masuk akal. Namun satu hal yang pasti
semakin aku menatap liontin ruby yang berwarna merah itu, semakin aku tertarik
kedalamnya.
“Baiklah, aku bawa. Tapi ga akan aku
pake. Ini karena aku males debat sama tante hehehe dan ga mau bikin kakek
terlalu lama menunggu dibawah”
Tante Hilda
tersenyum sambil memelukku dengan begitu erat.
“Kembalilah kesini kalau kamu merasa
tidak betah disana” bisik tante Hilda.
“Siap” aku tersenyum lebar, berharap
senyumku bisa meredakan kekhawatiran tante Hilda.
Yah, tante Hilda
pastilah sangat khawatir pada ku, karena sepanjang sepengetahuannya aku tidak
pernah lepas dari kedua orang tua ku. Dan kini aku sendiri pergi ke tempat yang
sama sekali asing.
“Arrrgghh I hate this” aku mengusap
air mata yang menetes di pipi tante Hilda.
“Take care honey” ucap tante Hilda.
“I will. And you too, take care”.
Aku kemudian
memasukkan kalung itu kedalam kotaknya. Kemudian aku selipkan di dalam
ranselku.
Kami menuruni
tangga dan menemui kakek yang tampak sudah tidak sabar menunggu ku di ruang
tamu.
“Owh...let me help you” seru kakek
begitu melihat ku dan tante Hilda menjinjing beberapa koper.
“Please, take care of her” ucap
tante Hilda.
“Jangan khawatir Hilda, kami akan
menjaganya dengan baik”.
“Ayolah tante....stop worrying me!”
ucap ku yang gemas melihat tante Hilda yang mengulang kata-kata yang sama pada
kakek.
Tante Hilda
tersenyum sambil mengusap punggung ku, sementara kakek sibuk memasukkan
koper-koper ku ke dalam mobil vans nya. Sebenarnya hanya dua koper besar dan
satu ransel yang ku bawa sendiri.
“Aku sudah menyiapkan bekal makanan
untuk diperjalanan” tante Hilda setengah berlari ke dapur, “hanya sandwich,
untuk ganjal perut”.
“Kau sangat baik hati Hilda, terima
kasih untuk jamuan mu” ucap kakek, baiklah lebih baik kita pergi sekarang, aku
tidak mau kemalaman di jalan”.
Aku dan tante
Hilda kembali saling berpandangan. Lagi-lagi tante Hilda memelukku dengan erat,
seperti hendak melepasku ke medan perang saja. Aku berjalan menuju mobil, kakek
yang lebih dulu telah berada di belakang kemudi tampak sabar menunggu ku yang
untuk terakhir kalinya memandangi rumah yang sekian lama telah kutempati
bersama orang tua ku.
Aku tersenyum
pada tante Hilda, seraya mengumpulkan kembali keyakinanku yang memudar setiap
kali melihat tante Hilda dan rumah ini. Ok
here I go....aku membalikkan badan dan
berjalan penuh keyakinan menyusul kakek. Seraya mobil berjalan aku kembali lagi
melambaikan tanganku pada tante Hilda.
Perjalanan kami
pun di mulai dengan kebekuan, sepertinya kami masing-masing berpikir keras akan
membahas apa.
“Kakek
mungkin ragu kalau Lake Valley akan membuatmu betah, tapi jika kamu suka akan
keindahan alam, Lake Valleylah tempatnya” ucap kakek berusaha mencairkan
kebekuan diantara kami.
Aku hanya
tersenyum mendengar celotehan kakek yang berusaha mencairkan kebekuan suasana.
Nice
try grand pa!
Tante Hilda
sempat terheran-heran akan keputusanku yang lebih memilih menetap di Lake
Valley dibandingkan di Covet City, tempat tinggal ku dulu. Apalagi aku sama
sekali belum mengenal kakek nenekku. Jadi saat ini aku bisa dibilang sedang
bertaruh untuk kehidupanku sendiri.
“Kakek hanya berharap banyak hal
belum terlambat. Kakek dan nenek senang sekali kamu memutuskan untuk tinggal
bersama kami”.
“Naia juga seneng kok. Mungkin nanti
malah Naia yang akan merepotkan kakek sama nenek”.
“Percaya sama kakek, nenek kamu
pasti malah seneng dibikin repot”
Aku kembali
tersenyum, kupandangi wajah tua kakek yang sekilas ada kemiripan dengan papa.
Kematian kedua orangtuaku memang membuat ku hancur, hancur berkeping-keping. Perjalanan
ke Lake Valley cukup jauh, untungnya aku telah mempersiapkan banyak hal untuk
mengusir kebosanan. Salah satunya MP3 player kesayanganku, pemberian papa.
We’re live in beautiful
world…..
Aku sempat
terhanyut dengan lyric-lyric lagu musisi asal Inggris, Coldplay. Angin kembali
berhembus mengenai pipi kiriku, membuat ku menoleh kearah kiri. Tampak hutan
pinus begitu indah diantara jurang terjal.
“Kakek pikir kamu tidur?”
“Udaranya seger yah Kek?” ucapku segera
agar kakek tidak beranggapan aku sedang memikirkan kedua orangtuaku.
Kakek tersenyum,
seakan tahu apa yang ada dalam benakku.
“Begitulah, itu salah satu yang
dicari oleh para makhluk malam Naia”
“Makhluk malam?”
“Itu cuma dongeng menjelang tidur di
Lake Valley”.
Kupandangi wajah
kakek mencoba sedikit berkhayal, seandainya dari dulu aku mengenal kakek
nenekku.
“Kakek dengar kamu suka
cerita-cerita mistik?” tanya kakek kemudian.
“Owh…um…ya…aku suka film-film yang
bikin tegang”.
“Lake Valley banyak menyimpan cerita
Naia, kamu pasti tertarik”.
“O ya? Kedengarannya menyenangkan”.
Sekilas aku
melihat kilatan-kilatan hitam yang bergerak begitu cepat diantara hutan pinus. Namun
rasa lelah yang menderaku, tak bisa membuatku membayangkan hal-hal lain, bahkan
kini suara kakek terasa semakin sayup terdengar.
When
faced with my demon…
I clothe them and I feed them…
And I smile yes I smile as their
taking me over
Begitu sepi,
bahkan aku merasa mobil kakek tidak berjalan. Begitu kubuka mataku aku melihat
kakek berdiri sambil melihat pohon besar yang melintang ditengah jalan. Dari
arah yang berlawan Mercedes benz keluaran terbaru pun berhenti. Ternyata ada
juga mobil mewah di tempat antah berantah seperti ini. Yang lebih mengagetkan
lagi begitu si pengendaranya keluar. Pria berbadan tinggi dan tegap, sorot mata
setajam elang dan kulit seputih salju berjalan kearah kakek. Yang menarik
perhatian ku adalah rambutnya yang berkilau putih keemasan.
“Sepertinya hujan tadi malam sangat
besar”
“Apa belum ada yang melapor
kepolisi?”.
“Mungkin belum ada penduduk Lake
Valley yang keluar kota, sepertinya hanya aku dan kakek Hidalgo yang suka berpergian”.
Pria itu
tiba-tiba menatap kearahku, anehnya jantungku seperti berhenti berdetak begitu
mata kami saling memandang. Aku bahkan bisa merasakan darah yang mengalir
ditubuhku.
“Itu cucu ku, dia akan tinggal
bersamaku”.
“Aku tidak tahu kakek Hidalgo punya
family diluar kota” ucap pria tersebut seraya merogoh saku celananya.
Melihat aku
terbangun kakek segera menghampiriku.
“Perjalanan kita sepertinya harus
tertahan beberapa menit Naia, kamu lapar? Kalau tidak salah tadi Hilda
membekali sandwich untukmu”.
“Apakah akan lama kek?”.
“Sampai petugas datang dan
membereskan pohon itu. Naia…kamu diam dimobil jangan keluar ok?!” ucap kakek
dengan mimik serius.
Aku mengangguk
walaupun tidak mengerti mengapa kakek harus begitu seserius itu. Apa karena
pria itu?
“Aku sudah menelpon polisi, mereka
akan datang dengan mobil derek. Tapi kemungkinan agak sedikit telat, jika
memang kakek Hidalgo diburu waktu kita bisa bertukar mobil”.
“Lebih baik aku tunggu saja, aku
tidak diburu waktu. Mungkin kau yang terburu-buru”.
Senyum tipis
menghias wajah sedingin es itu, gerak-geriknya begitu memikat. Aku tidak bisa
melepaskan pandangannya dari pria itu.
“Aku juga tidak diburu waktu, bahkan
mungkin aku tidak jadi keluar kota. Um…. Kalian tidak apa-apa jika aku
tinggal?”
“Kami baik-baik saja. Terima kasih
perhatiannya Aero”.
Lagi-lagi pria
yang dipanggil Aero oleh kakek tersenyum tipis, kali ini matanya kembali
menatapku dan itu membuatku tidak bisa berkutik untuk beberapa saat.
Kakek kembali
menghampiriku begitu mobil Aero kembali berputar arah.
“Sebentar lagi polisi datang, kamu
tidak keberatan menunggu kan?”
Naia menggeleng
sambil melepas headseat MP3 playernya.
“Siapa dia itu Kek?”
“Namanya Aero, dia seorang Grimaldi,
pengusaha kaya. Sebaiknya kita tidak usah terlalu dekat dengan mereka Naia”.
“Kenapa? Kelihatannya cukup baik”.
“Mereka sendiri yang selalu
memisahkan diri dari lingkungan sekitar. Sudahlah, nanti juga kamu akan paham
mengapa masyarakat tidak begitu menyukai keluarga Grimaldi”.
Aku tidak berani
bertanya lagi pada kakek mengenai keluarga itu, walaupun semakin membuatku
penasaran. Seumur hidupku belum pernah mengalami reaksi yang tidak bisa
dimengerti begitu menatap orang.
Tak berapa lama
polisi datang dengan mobil Derek. Sepertinya kakek cukup dikenal di Lake
Valley, melihat polisi itu begitu akrab menyapa kakek. Kurang lebih setengah
jam Naia dan kakek menunggu, akhirnya pengangkutan pohon besar itu selesai
juga. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan polisi, kakek kemudian pamit untuk
meneruskan perjalanan pulang.
Akhirnya…..
Begitu kakek
kembali menstater mobil, seperti ada sesuatu yang memaksaku untuk melihat ke
kiri kaca mobil. Hutan pinus yang begitu lebat menarik diriku untuk
berlama-lama menatapnya.
Mata
itu….Oh Tuhan…
Aku segera
memalingkan wajahn dengan begitu tegang.
“Ada apa Naia?” tanya Kakek.
“Aku…aku…aku…lihat seseorang….” aku
ketakutan.
“Mungkin kamu hanya lelah, sudahlah
lebih baik kamu tidurkan karena perjalanan kita belum bisa dibilang dekat”.
Lebih baik aku
menuruti saran kakek, walaupun dalam benakku tidak bisa berhenti berpikir apa
yang barusan dilihat tadi. Tapi logika ku memaksa untuk menyetujui pendapat
kakek, mungkin aku memang kelelahan. Aku kembali memejamkan mata, lagi-lagi
angin berhembus mengenai pipi kiriku.
Don’t Panic – Coldplay Song Lyrics